refleksi: malam terakhir jokowi

Averrous Saloom
4 min readFeb 13, 2024

--

Malam ini bisa menjadi malam terakhir Joko Widodo sebagai presiden. Rasa gelisah menyelimuti hati saya. Jokowi menutup karirnya sebagai presiden dengan buruk: memanfaatkan segala cara untuk mempertahankan legacy-nya.

Joko Widodo

Tidak ada hal yang lebih menakutkan dari penguasa yang merasa bebas melakukan apa pun. Konstitusi yang sakral bisa-bisanya dikadali sedemikian rupa. Dana anggaran yang tipis dipindahkan untuk kepentingan dirinya. Jika hal sakral dan terbatas saja dengan seenaknya dimainkan, apalagi orang-orang lemah yang sehari-hari kesulitan mencari makan.

Di pemilu 2024 ini Jokowi menjadi figur penguasa seenaknya tersebut. Dia memainkan kartu-kartunya dengan sangat ciamik. Ia tahu apa yang bisa ia lakukan untuk mencapai tujuannya. Dirty Vote meringkasnya dengan baik: dari pemilihan PLT Gubernur, memilih pimpinan tertinggi Polri dan TNI dari orang terdekatnya, hingga polemik MK. Belum-belum lagi penambahan 20 Triliun ke dana BLT secara tiba-tiba, dan penyalurannya yang ditumpuk ke bulan pemilu. Semuanya dimuarakan ke satu tujuan, memenangkan paslon yang 100% terjamin akan tegak lurus dengannya.

Dari sisi lain

Mari kita anggap Jokowi bukanlah orang yang semata-mata haus akan kekuasaan.

Selama sembilan setengah tahun ke belakang, Jokowi bekerja dengan keras menyelesaikan hal-hal yang dia anggap dapat memajukan Indonesia. Strategi-strategi yang ia pilih dipercayainya dengan kuat. Namun, strategi-strategi ini ketika dilihat dari kacamata yang lebih luas memunculkan banyak pertanyaan. Seperti keputusan untuk memfokuskan industrialisasi Indonesia ke arah hilirisasi bahan tambang yang harganya volatil dan tidak padat karya.

Belum lagi IKN yang memiliki salah satu tujuan utama meratakan ekonomi Indonesia agar tidak Jawa sentris. Padahal, Kabupaten Lebak, sebuah kabupaten yang hanya dipisahkan oleh sebuah kabupaten lain dari Jakarta adalah salah satu daerah termiskin di Indonesia. Ini bukti bahwa memindahkan lokasi ibukota bukanlah sebuah solusi atas ketimpangan. Yang harus diubah bukanlah lokasi, tetapi mengubah kebijakan-kebijakan pembangunan agar tidak terfokus di pulau Jawa saja.

Dua hal penting yang membuat pemerintahan Jokowi menjadi sedemikian rupa percaya diri dengan pendekatan pembangunan yang mereka canangkan: Ketiadaan oposisi dan jauhnya dari akademisi.

If you believed in your plan so much, would you want someone to change it?

Selama lima tahun ke belakang, Jokowi tidak memiliki oposisi yang berarti di DPR. Semuanya bagai tunduk pada dia. Undang-Undang Cipta Kerja lewat DPR dengan cepat begitu saja. Mikrofon bahkan dimatikan saat ada yang memberikan pendapat. Kritik memang banyak, tetapi para pengkritik tidak memiliki bargaining position. Apa pun yang pengkritik katakan atau lakukan, tidak akan memengaruhi apa pun. Pemerintah cukup menggunakan penutup telinga karena tidak ada yang bisa menoyol kepala mereka.

Akhirnya Jokowi ini semakin congak. Strategi-strategi yang dia ambil secara jangka pendek juga menguntungkan, seperti nikel yang akhirnya membuat neraca perdagangan Indonesia positif. Tidak ada alasan bagi Jokowi untuk tidak mempercayai rencana-rencana besarnya.

Baginya, keberlanjutan rencana hebatnya sangat krusial untuk Indonesia maju. Jokowi menjadi seorang utilitarian sejati: etika dan aturan tidak lebih penting dari kemajuan bangsa Indonesia.

Sang Pelanjut

Pada editorial The Economist, dengan baik disederhanakan bahwa Jokowi memiliki delusion of grandeur. Surat kabar itu juga memberikan lotehan bahwa Prabowo terlihat akan lebih-lebih lagi dalam melakukannya: Makan siang untuk seluruh siswa dan ibu, membangun 300 FK dan mengirim 10.000 pelajar STEM ke luar negeri, melakukan hilirisasi, SGIE, dan mengurangi greenflation. Segala grandeurisasi ini akan semakin banyak, kebijakan untuk kepentingan jangka panjang akan semakin diturunkan prioritasnya.

The biggest delusion of all

Kemenangan calon yang disokong Jokowi juga akan menjadi preseden buruk: penguasa bisa melakukan apa pun tanpa konsekuensi. Konsekuensi yang muncul bisa ditutup saja dengan mudah dengan kekuasaan. Semua kamar di luar eksekutif sudah ikut dikuasai juga. Saya takut hal yang menjadi alasan Montesquieu mengajukan pemisahan akan hilang di tahun mendatang: untuk mencegah tirani dan memastikan perlindungan kebebasan tiap orang.

Pelanjut Jokowi sudah paham bahwa sebagian besar masyarakat tidak mementingkan apa yang penguasa lakukan, baik buruknya, dampak rusaknya, karena selama mereka dapat memberi sembako untuk makanan di bulan pemilihan, dan memperlihatkan dirinya seru, lucu, nan asik, nama mereka akan terpanggil 55 kali tiap 100 surat suara dibuka.

Jokowi menjadi bukti konkrit bahwa seorang pemimpin publik harus memiliki nilai-nilai kemanusiaan di atas kekuasaan yang kuat. Ia harus menunjukkan rekam jejak menghormati hukum dan ilmu pengetahuan, menerima kritik dan meng-address-nya dengan baik. Hal ini tidak boleh lagi terulang.

Di pukul 02.11 ini ini saya tidak bisa tidur, hati saya masih gelisah. Berdengung terus di kepala saya bahwa malam ini adalah malam terakhir Jokowi menjadi presiden. Dan terdengar ketakutan yang lebih-lebih dalam lagi: hari pertama Jokowi menjadi presiden selamanya.

--

--